ACARA KHATAMAN A'TAQO ( SURAT AL-IKHLAS 100.000x) DAN ISTIGHOTSAH AKBAR KE-22 AKAN DISELENGGARAKAN PADA TANGGAL 1-2 JUNI 2016.

Kamis, 02 Mei 2013

Gusdur: Mengenang Sosok “Wali” Kesepuluh

Gusdur: Mengenang Sosok “Wali” Kesepuluh

Add caption
Konon, ada empat misteri di dunia ini, yakni kelahiran, jodoh, kematian, dan Gusdur. Seluruh ucapan, perilaku dan manuver politik mantan Ketum NU tiga periode itu (1984-1998) benar-benar bak misteri. Pernyataan Gusdur kerap disalah artikan dan mengundang kontroversi, bahkan oleh “kandang”-nya sendiri, yaitu kalangan NU dan pesantren.
Memang tak mudah untuk membaca seorang Gusdur. Hal itu diakui sendiri oleh Bisri Effendy saat memberi kata pengantar dalam buku “Tuhan Tak Perlu Dibela” cetakan 1999. Bagi lawannya, Gusdur adalah musuh Islam nomer satu. Ia dianggap sebagai tokoh yang “meracuni” pemikiran anak muda NU, sekaligus penyebar ideologi sekuler-liberal. Tak heran, konon, jika berpulangnya
Gusdur dianggap sebagai bentuk “pertolongan” Tuhan bagi umat Islam oleh seorang tokoh.
Namun, bagi kawan-kawannya, sosok Gusdur sebagai “ad-dakhil” alias pendobrak. Sesuai namanya, Abdurrahman Ad-Dakhil, Gusdur memang “mendobrak” mainstream konservatif kalangan muslim Indonesia melalui berbagai kebijakkan, tulisan dan pernyataannya. Jika Cak Nur dianggap sebagai tokoh yang mengenalkan Islam ke kalangan masyarakat perkotaan, maka Gusdur dianggan sebagai tokoh yang mengenalkan jargon “Mempribumikan Islam dan Meng-Islamkan Pribumi”.
Sementara untuk kalangan umat NU, Gusdur dianggap lebih dari sekedar manusia biasa. Semasa hidup, Beliau dipandang sebagai sosok manusia luar biasa, sosok seorang “Wali Allah.” Tak heran jika berbagai pernyataan kontroversialnya sering di-amin-kan oleh kalangan Nahdhiyin. Mereka memandangnya sebagai wujud dari “sak durunge winarah”, salah satu ke-cirian seorang Wali.
Bagi bangsa Indonesia, terutama kalangan minoritas, Gusdur dilantik secara tak resmi sebagai “guru bangsa”. Ketika Beliau “naik pangkat” menjadi Presiden, banyak kalangan justru menganggap Beliau sejatinya “turun pangkat”. Istilahnya “Semar Dadi Ratu”. Gusdur seakan sudi untuk “disangkar emaskan”. Sementara Semar tak cocok menjadi Ratu. Ia melebihi seorang Ratu. Demikian pula dengan Gusdur.
Untuk kalangan minoritas sosoknya demikian dikenang dan dihormati. Kalangan Tionghoa memberinya gelar “Bapak Tionghoa Indonesia.” Bukan tanpa alasan, Gusdur-lah yang menghilangkan diskriminasi terhadap etnis itu dengan Inpres No. 6/2000, yang dikeluarkan tanggal 17 Januari 2000 untuk mencabut Inpres 14/1967 yang menyudutkan etnis Tionghoa.
Gusdur juga dinilai layak menyandang gelar “Bapak Demokrasi Indonesia”. Pada era kepemimpinannya, Gusdur membubarkan Bakortranas -lembaga ekstra yudisial penerus Kopkamtib- yang memiliki kewenangan luas untuk menindas. Gusdur pula, dengan kebesaran hatinya, meminta maaf kepada korban pembantaian PKI sekaligus mengusulkan untuk mencabut TAP MPRS No. 27/1966. Gusdur juga membuka ruang dialog antar (umat) agama. Ia ingin setiap orang diperlakukan setara dalam hukum, tanpa membeda-bedakan warna kulit, etnis, agama atau ideologi.
Dengan segala rekam jejak positif Gusdur, maka tak heran jika kepergiannya ditangisi oleh banyak pihak dan diantarkan oleh lautan manusia. Kehadiran puluhan ribu orang dan maraknya acara haul Gusdur di seluruh pelosok Indonesia menjadi pertanda bahwa kita sangat merindukan kehadiran kembali sosok seperti layaknya Beliau, sekaligus bangsa merasa kehilangan oleh sosok sekelas Beliau.
Bagi kalangan santri, lautan manusia yang memadati acara haul-haul Gusdur semakin menegaskan indikasi bahwa Gusdur ialah “wali” kesepuluh, setelah Walisanga. Setiap hari makamnya selalu penuh sesak oleh orang-orang yang berziarah untuk sekedar mendoakan atau “ngalap” berkah pada tokoh penggemar cerita silat “Kho Ping Hoo” ini. Bahkan rute ziarah Walisanga -kini- tidak sembilan, melainkan sepuluh, yaitu dengan ditambahkannya makam Gusdur sebagai rute ziarah wisata Wali Allah.
Akhirnya, kini, mata dan raga Gusdur memang “tertidur” panjang, namun hati, jiwa, semangat dan buah pikirnya senantiasa ada untuk diestafet-kan kepada generasi-generasi muda NU dan bangsa selanjutnya. Atau benar ucapan KH Muchit Muzadi, bahwa 100 tahun lagi baru-lah Indonesia melahirkan sosok seperti Gusdur kembali.
Selamat jalan Gus…kami -anak muda NU- akan selalu mengenangmu.
Allahummaghfir Lahu Warhamhu Wa A’fihi Wa’fuanhu…Al-Fatihah.
Salam berang-berang.
Selamat menikmati hidangan.

Sumber : http://sosok.kompasiana.com/2012/09/28/gusdur-mengenang-sosok-wali-kesepuluh-497402.html

0 komentar :