Gusdur: Mengenang Sosok “Wali” Kesepuluh
Gusdur: Mengenang Sosok “Wali” Kesepuluh
Add caption |
Konon, ada empat misteri di dunia ini, yakni
kelahiran, jodoh, kematian, dan Gusdur. Seluruh ucapan, perilaku dan
manuver politik mantan Ketum NU tiga periode itu (1984-1998) benar-benar
bak misteri. Pernyataan Gusdur kerap disalah artikan dan mengundang
kontroversi, bahkan oleh “kandang”-nya sendiri, yaitu kalangan NU dan
pesantren.
Memang tak mudah untuk membaca seorang Gusdur. Hal itu diakui sendiri
oleh Bisri Effendy saat memberi kata pengantar dalam buku “Tuhan Tak
Perlu Dibela” cetakan 1999. Bagi lawannya, Gusdur adalah musuh Islam
nomer satu. Ia dianggap sebagai tokoh yang “meracuni” pemikiran anak
muda NU, sekaligus penyebar ideologi sekuler-liberal. Tak heran, konon,
jika berpulangnya
Gusdur dianggap sebagai bentuk “pertolongan” Tuhan bagi umat Islam oleh seorang tokoh.
Gusdur dianggap sebagai bentuk “pertolongan” Tuhan bagi umat Islam oleh seorang tokoh.
Namun, bagi kawan-kawannya, sosok Gusdur sebagai “ad-dakhil” alias
pendobrak. Sesuai namanya, Abdurrahman Ad-Dakhil, Gusdur memang
“mendobrak” mainstream konservatif kalangan muslim Indonesia melalui
berbagai kebijakkan, tulisan dan pernyataannya. Jika Cak Nur dianggap
sebagai tokoh yang mengenalkan Islam ke kalangan masyarakat perkotaan,
maka Gusdur dianggan sebagai tokoh yang mengenalkan jargon
“Mempribumikan Islam dan Meng-Islamkan Pribumi”.
Sementara untuk kalangan umat NU, Gusdur dianggap lebih dari sekedar
manusia biasa. Semasa hidup, Beliau dipandang sebagai sosok manusia luar
biasa, sosok seorang “Wali Allah.” Tak heran jika berbagai pernyataan
kontroversialnya sering di-amin-kan oleh kalangan Nahdhiyin. Mereka
memandangnya sebagai wujud dari “sak durunge winarah”, salah satu
ke-cirian seorang Wali.
Bagi bangsa Indonesia, terutama kalangan minoritas, Gusdur dilantik
secara tak resmi sebagai “guru bangsa”. Ketika Beliau “naik pangkat”
menjadi Presiden, banyak kalangan justru menganggap Beliau sejatinya
“turun pangkat”. Istilahnya “Semar Dadi Ratu”. Gusdur seakan sudi untuk
“disangkar emaskan”. Sementara Semar tak cocok menjadi Ratu. Ia melebihi
seorang Ratu. Demikian pula dengan Gusdur.
Untuk kalangan minoritas sosoknya demikian dikenang dan dihormati.
Kalangan Tionghoa memberinya gelar “Bapak Tionghoa Indonesia.” Bukan
tanpa alasan, Gusdur-lah yang menghilangkan diskriminasi terhadap etnis
itu dengan Inpres No. 6/2000, yang dikeluarkan tanggal 17 Januari 2000
untuk mencabut Inpres 14/1967 yang menyudutkan etnis Tionghoa.
Gusdur juga dinilai layak menyandang gelar “Bapak Demokrasi Indonesia”.
Pada era kepemimpinannya, Gusdur membubarkan Bakortranas -lembaga ekstra
yudisial penerus Kopkamtib- yang memiliki kewenangan luas untuk
menindas. Gusdur pula, dengan kebesaran hatinya, meminta maaf kepada
korban pembantaian PKI sekaligus mengusulkan untuk mencabut TAP MPRS No.
27/1966. Gusdur juga membuka ruang dialog antar (umat) agama. Ia ingin
setiap orang diperlakukan setara dalam hukum, tanpa membeda-bedakan
warna kulit, etnis, agama atau ideologi.
Dengan segala rekam jejak positif Gusdur, maka tak heran jika
kepergiannya ditangisi oleh banyak pihak dan diantarkan oleh lautan
manusia. Kehadiran puluhan ribu orang dan maraknya acara haul Gusdur di
seluruh pelosok Indonesia menjadi pertanda bahwa kita sangat merindukan
kehadiran kembali sosok seperti layaknya Beliau, sekaligus bangsa merasa
kehilangan oleh sosok sekelas Beliau.
Bagi kalangan santri, lautan manusia yang memadati acara haul-haul
Gusdur semakin menegaskan indikasi bahwa Gusdur ialah “wali” kesepuluh,
setelah Walisanga. Setiap hari makamnya selalu penuh sesak oleh
orang-orang yang berziarah untuk sekedar mendoakan atau “ngalap” berkah
pada tokoh penggemar cerita silat “Kho Ping Hoo” ini. Bahkan rute ziarah
Walisanga -kini- tidak sembilan, melainkan sepuluh, yaitu dengan
ditambahkannya makam Gusdur sebagai rute ziarah wisata Wali Allah.
Akhirnya, kini, mata dan raga Gusdur memang “tertidur” panjang, namun
hati, jiwa, semangat dan buah pikirnya senantiasa ada untuk
diestafet-kan kepada generasi-generasi muda NU dan bangsa selanjutnya.
Atau benar ucapan KH Muchit Muzadi, bahwa 100 tahun lagi baru-lah
Indonesia melahirkan sosok seperti Gusdur kembali.
Selamat jalan Gus…kami -anak muda NU- akan selalu mengenangmu.
Allahummaghfir Lahu Warhamhu Wa A’fihi Wa’fuanhu…Al-Fatihah.
Salam berang-berang.
Selamat menikmati hidangan.
Sumber : http://sosok.kompasiana.com/2012/09/28/gusdur-mengenang-sosok-wali-kesepuluh-497402.html
Sumber : http://sosok.kompasiana.com/2012/09/28/gusdur-mengenang-sosok-wali-kesepuluh-497402.html
0 komentar :